Di dalam tubuh terdapat
suatu zat kimia yang membuat otot dapat berkontraksi atau berelaksasi. Zat ini
disebut adenosin trifosfat atau ATP. Zat ini merupakan suatu senyawa yang
selama aktivitas otot diubah menjadi adenosin difosfat atau ADP sambil
menghasilkan energi siap pakai untuk otot tersebut.
Struktur Molekul ATP dan ADP (Reuter 2012)
Struktur
molekul dari ATP dan ADP ditunjukkan pada gambar 2.2. ATP terdiri dari tiga subunit
yaitu: (1) adenin, (2) ribose, dan (3) gugus fosfat. Bagian
dari phosphate groups sangat penting
karena molekul inilah yang terus-menerus membelah menjadi ADP (adenosine
di-phosphate) dan Pi (phosphate), menciptakan energi saat berlari ataupun dalam
beraktivitas. Energi ini tercipta saat Pi (phosphate) terpisah dan bisa
digunakan untuk banyak hal seperti pertumbuhan atau stimulasi saraf. Sedangkan
penggunaan untuk olahraga adalah kontraksi otot.
Jumlah ATP dalam
otot-otot sangat terbatas, dan jika tidak terjadi sesuatu sumber energi energi
ini akan habis. Untungnya ada sejumlah sistem di dalam otot yang secara konstan
membentuk kembali ATP dari ADP yang sudah ada sehingga ATP tetap cukup bagi
otot untuk melanjutkan suatu aktivitas kembali.
Ada tiga sistem energi
yang membangun kembali ATP yaitu: dua sistem anaerobik - creatine phosphate dan
glikolisis, dan sistem aerobik (Peter G.J.M 1987).
Setiap sistem energi memiliki aspek positif yang tidak dimiliki dua lainnya.
Tapi setiap sistem juga memiliki aspek negatif dan dua lainnya tidak memiliki.
Itu sebabnya dibutuhkan ketiganya. Selama pelatihan dan kompetisi tubuh
menggunakan ketiga sistem energi tersebut. Untuk performa terbaik ketiga sistem
tersebut harus dikembangkan secara optimal, sehingga semuanya seimbang dengan
benar. Pada kenyataannya atlet ketahanan hanya perlu khawatir tentang dua
sistem, sistem aerobik dan sistem glikolitik, seperti yang ditunjukan pada
gambar dibawah ini:
Tiga Sistem Energi (Reuter 2012)
1. Sistem
Kreatin Fosfat (CP/Anaerobik Alaktik)
Sistem energi ini dapat disebut juga
sebagai sistem anaerobik alaktik, artinya anaerobik “tanpa oksigen” dan alaktik
adalah bahwa sistem aktivitas otot tidak menghasilkan asam laktat. Sistem Creatine Phosphate sangat cepat dan
tidak memiliki produk samping negatif. Kekurangannya adalah bahwa hanya ada
cukup creatine phosphate dalam tubuh
untuk bertahan 5-8 detik saat atlet berkompetisi dengan intensitas tinggi.
Penyediaan energi dengan mengubah kreatin fosfat terjadi di awal setiap
eksersi. Ekskresi adalah proses pembuangan sisa metabolisme dan benda tidak
berguna lainnya. Pembentukan kembali CP setelah selesainya eksersi terjadi
dengan cepat. Setelah 22 detik terbentuk sekitar setengah dari jumlah CP dan
sesudah lebih kurang 44 detik, tiga perempat, dikembalikan. Sistem CP dilatih
dengan ledakan tenaga yang diselang-selingkan dengan periode istirahat dan
periode ini harus cukup panjang mengingat pembentukan kembali CP membutuhkan
waktu.
Dengan demikian, sistem ini sangat
berguna untuk pukulan cepat dalam tinju,
sprint pendek di sepak bola atau bola basket, untuk melompat atau lari 100
m. Sistem ini tidak ada gunanya dalam lomba ketahanan karena akan hilang
setelah beberapa detik dan jika perlu ada sprint
pada akhirnya tidak akan tersedia.
2.
Sistem Glikolitik (glycolytic/anaerobik laktik)
Sistem kreatin fosfat memainkan bagian
kecil dalam lomba ketahanan ketika seseorang mengacu pada sistem anaerobik,
mereka hampir selalu mengacu pada sistem glikolitik. Produk akhir dari sistem
ini adalah piruvat tapi segera berubah menjadi laktat. Piruvat berubah menjadi
laktat begitu cepat sehingga beberapa orang menyebut sistem ini sebagai sistem
laktat.
Pada usaha atau aktivitas yang intensif
dan all-out yang berlangsung lebih
lama dari beberapa detik, energinya berasal dari bahan bakar karbohidrat. Bahan
bakar ini tersimpan dalam darah sebagai glukosa dan gilokgen dalam otot dan
hati. Bahan bakar karbohidrat bisa cepat dipakai sebagai energi tanpa O2
dan melalui suatu proses yang disebut dengan glikolisis. Otot menggunakan karbohidrat
untuk bisa dengan cepat menghasilkan dan menyimpan suplai-suplai ATP guna
melanjutkan aktivitas pendek dengan intensitas tinggi.
Sistem energi ini bisa menghasilkan
lebih dari 75% energi yang diperlukan untuk intensitas latihan yang intensif selama
30 sampai 50 detik. Lebih lama dari itu, suplai sistem ini akan terus menurun.
Adapun jenis aktivitas/olahraga yang tergolong pada sistem ini, misalnya lari
400 meter, renang 50 m dan beberapa aspek dalam permainan hoki, basket dan
sepakbola.
3. Sistem
Aerobik
Sistem aerobik adalah yang paling
penting dari sistem energi dan menyediakan sebagian besar energi untuk setiap
aktivitas/usaha yang lebih dari 2 menit. Hal ini sangat penting bagi pelari
jarak menengah, jarak jauh ataupun lari maraton, baik untuk latihan maupun
untuk event itu sendiri. Sistem
aerobik yang kuat tidak hanya menyediakan energi untuk perlombaan namun
memungkinkan atlet untuk meningkatkan intensitas dan volume latihan. Juga
sistem anaerobik yang kuat selama masa pelatihan memungkinkan atlet
menyelesaikan latihan yang lebih intens dan lebih lama daripada kapasitas
anaerobik yang rendah. Namun, pada balapan kapasitas anaerobik yang tinggi akan
menghambat kinerja. Bila sistem aerobik menggunakan karbohidrat sebagai bahan
bakar, maka dalam bentuk piruvat. Karena piruvat tidak ada dalam aliran otot
atau darah sampai batas tertentu, karbohidrat yang sebenarnya merupakan bahan
bakar untuk sistem aerobik adalah laktat. Laktat dengan cepat diubah menjadi
piruvat sebelum digunakan sebagai bahan bakar untuk energi aerobik. Karbohidrat
dipecah jauh lebih cepat daripada bahan bakar lainnya seperti lemak dan dengan
demikian memberikan energi aerobik lebih cepat untuk aktivitas yang intens.
Sistem aerobik memanfaatkan tiga bahan
bakar yang berbeda yaitu: lemak, karbohidrat dan protein. Sebagian besar energi
akan berasal dari lemak dan karbohidrat. Lemak menyediakan sebagian besar bahan
bakar untuk aktivitas sehari-hari. Protein sebagai bahan bakar hanya mewakili
kontribusi yang sangat kecil.
Karbohidrat (dalam bentuk laktat)
merupakan bahan bakar yang paling diminati untuk olahraga ketahanan karena
mereka mengarah pada pembentukan ATP yang lebih cepat dan memungkinkan
kontraksi lebih cepat dan perlombaan yang lebih cepat untuk atlet. Tapi
pasokannya terbatas. Hanya ada cukup karbohidrat yang tersimpan di otot untuk
memungkinkan latihan aerobik yang intens selama sekitar 90-100 menit. Ada cukup
lemak yang tersimpan dalam tubuh untuk memperlama latihan aerobik yang lebih
lambat selama beberapa hari. Proporsi lemak dan karbohidrat yang digunakan
selama kompetisi tergantung pada tingkat pengkondisian atlet dan kecepatan yang
dibutuhkan.
Tidak ada produk sampingan
negatif dari sistem aerobik: hanya air dan karbondioksida yang dialami atlet
berkeringat dan mengembuskan napas. Namun, ada satu negatif, panas, dan ini
harus dipertimbangkan dengan cermat selama latihan. Saat kita menggunakan
sistem aerobik pada tingkat tinggi, banyak panas dihasilkan di dalam sel, dan
panas ini mempercepat pemecahan sel. Terlalu banyak kerusakan dan atlet akan
kehilangan kapasitas aerobik. Itulah sebabnya pelatihan pada ambang batas atau
di atas harus dibatasi dalam program latihan. pelatihan di dekat ambang batas
khususnya pada pelari jarak jauh dan lari maraton terlalu berbahaya dan
menyebabkan hilangnya kapasitas aerobik bukan keuntungan. Jadi atlet harus
hati-hati dengan intensitas latihan mereka karena bisa memiliki efek negatif
jika tidak dikontrol dengan seksama apalagi semakin baik.
Setiap event lari pada cabang olahraga atletik
diketahui memiliki karateristik yang berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh
jarak dan tingkat intensitas masing-masing event.
Dampak dari karateristik tersebut sekaligus mempengaruhi pada aspek fisiologis
pelari terutama pada penggunaan sistem energi. Pada tabel dibawah ini
menjelaskan kontribusi sistem energi pada masing-masing event lari.
Tabel 2.1
Kontribusi Sistem
Energi Pada Event Lari (Bompa and Buzzichelli, 2015)
|
GLYCOGEN |
|
|||
Event |
Duration |
ATP-CP |
Lactic |
Aerobic |
Triglyceride (fatty acid) |
100m |
10
sec |
53% |
44% |
3% |
- |
200m |
20
sec |
26% |
45% |
29% |
- |
400m |
45
sec |
12% |
50% |
38% |
- |
800m |
1min.
45 sec |
6% |
33% |
61% |
- |
1.500m |
3
min. 40 sec |
- |
20% |
80% |
- |
5.000m |
13
min |
- |
12.5% |
87.5% |
- |
10.000m |
27
min |
- |
3% |
97% |
- |
Marathon |
2
hr. 10 min |
- |
- |
80% |
20% |
Pada
tabel diatas menunjukan bahwa kontribusi energi pada pelari sangat ditentukan
oleh jarak dan durasi lari, semakin pendek jarak atau cepatnya waktu yang
ditempuh oleh pelari maka semakin besar kontribusi pada sistem anaerobiknya,
begitu pula sebaliknya semakin lama durasi dan jarak lari maka semakin besar
kontribusi pada sistem energi aerobiknya. Pada nomor lari 1500 m kontribusi
energi pelari sangat didominasi pada sistem energi aerobik, berdasarkan pada
tabel 2.1 nilai persentase pada sistem energi aerobik sebesar 80% dan 20%
sistem energi anaerobik tepatnya pada sistem anaerobik laktik atau glikolisis
dengan durasi 3 menit 40 detik. Sebuah studi yang dilakukan oleh (Duffield, Dawson, and
Goodman 2005)
melaporkan secara detail kontribusi sistem energi pada nomor 1500 meter, yaitu
ditampilkan pada grafik dibawah ini :
Kontribusi Sistem Energi Aerobik dan Anaerobik Pelari 1500 m (Duffield et al. 2005)
Pada gambar 2.4 dapat
diketahui bahwa kontribusi sistem aerobik dan anaerobik pada pria yaitu berada
pada nilai persentase 77% dan 23%, sedangkan pada wanita yaitu 86%-14%. Dari
kedua gender tersebut metabolisme aerobik memiliki nilai persentase yang jauh
lebih tinggi dari sistem energi anaerobik, menurut (Giriwijoyo 2017)
sistem energi aerobik disebut sebagai sistem sekunder, karena bukan sistem ini
yang menentukan kapan aktivitas lari terpaksa harus dihentikan (saat terjadinya
lelah berat) tetapi sistem ini dapat memperlambat atau mempercepat datangnya
lelah berat yaitu apabila kapasitas aerobik (sebagai hasil latihan) besar maka
kelelahan lambat datang, sedangkan apabila kapasitas aerobik kecil maka
kelelahan lebih cepat terjadi. Pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa
kapasitas aerobik bukanlah menjadi sistem yang utama dalam mempengaruhi
aktivitas pelari melainkan sebagai modal kerja penunjang, artinya makin besar
kapasitas aerobik yang dimiliki, maka habisnya kapasitas anaerobik terjadi
lebih lama dan makin besar kontribusinya terhadap penghematan pemakaian daya
(energi) anaerobiknya.
Sistem anaerobik adalah
kunci untuk performa yang optimal khususnya bagi pelari jarak menengah (Brandon 1995; Mpholwane 2007).
Sistem ini disebut sebagai sistem energi primer oleh karena faktor inilah yang
menentukan terhentinya aktivitas lari. Apabila kapasitas anaerobik habis
terpakai, maka olahraga tidak mungkin dapat dilanjutkan lagi dan orang akan
berada dalam keadaan “kehabisan tenaga” (lelah berat = exhausted). Pada keadaan
demikian otot tidak mampu lagi berkontraksi oleh karena rangsang saraf tidak
dapat melintasi keping motorik (motor endplate) ke otot, oleh karena adanya
hambatan oleh zat kelelahan (asam laktat), aktivitas baru dapat dilanjutkan
apabila telah terjadi pemulihan (istirahat) atau penuruan intensitas.
(Lacour et al. 1990)
mengungkapkan bahwa pelari 800 dan 1500 m berada pada kategori event dengan intensitas yang tinggi,
dikarenakan pengaruh oleh durasi dan jaraknya. Oleh karena itu, dengan
tingginya intensitas pada event ini
maka kebutuhan pada sistem energi pun akan tinggi pula terutama pada kebutuhan
sistem energi anaerobiknya. (Giriwijoyo 2017)
menjelaskan kapasitas anaerobik yang tinggi menunjukkan kemampuan untuk
menampilkan olahraga dengan intensitas yang tinggi dan juga efisiensi seluler
yaitu dimana sel dapat menghasilkan daya (energi) dalam jumlah yang besar dalam
waktu yang singkat dan dengan menggunakan O2 yang sedikit. Kapasitas
anaerobik yang tinggi, berarti pelari memiliki cadangan power yang tinggi, yang
memungkinkannya untuk melakukan gerakan-gerakan explosive maksimal yang sangat diperlukan, seperti untuk melakukan sprint akhir menjelang finish,
akan tetapi kapasitas anaerobik yang tinggi terlebih dahulu harus didukung
oleh kapasitas aerobik yang tinggi pula.
Dengan
demikian, pelatihan untuk meningkatkan kapasitas anaerobik hakikatnya adalah
pelatihan untuk membuat sel menjadi lebih efisien dalam menggunakan O2
sedangkan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas aerobik adalah membuat tubuh
menjadi lebih mampu memasok O2 bagi keperluan sel, dengan adanya kapasitas
aerobik yang tinggi berarti juga penghematan terhadap pemakaian kapasitas
anaerobik. Peningkatan kapasitas aerobik adalah untuk meningkatkan ketahanan
yang berarti atlet menjadi tidak mudah lelah dan lebih cepat pulih dari
kelelahan, dengan adanya kapasitas aerobik yang tinggi atlet memiliki kemampuan
untuk memulihkan diri dengan lebih cepat setelah melakukan aktivitas fisik yang
melelahkan. Oleh karena itu, atlet yang berkompetisi secara berturut-turut
harus memiliki kapasitas aerobik yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar