Rabu, 04 Juni 2025

"20% untuk Honor Non-ASN: Tantangan atau Peluang Menuju Sekolah Bermutu?"

Mulai tahun anggaran 2025, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menetapkan batas maksimal penggunaan Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) untuk honorarium tenaga non-ASN sebesar 20% untuk sekolah negeri dan 40% untuk sekolah swasta. Kebijakan ini menandai perubahan signifikan dalam pengelolaan dana pendidikan, dengan tujuan utama untuk memastikan bahwa anggaran pendidikan benar-benar digunakan untuk meningkatkan mutu pembelajaran.

Namun, kebijakan ini menimbulkan beragam respons dari lapangan. Sebagian melihatnya sebagai tantangan operasional yang dapat mengganggu keberlangsungan kegiatan belajar mengajar. Di sisi lain, kebijakan ini juga bisa dibaca sebagai peluang untuk melakukan penataan ulang sumber daya sekolah demi menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna dan berdampak.

📌 Mengapa Dibatasi?

Selama ini, banyak sekolah — terutama di daerah — mengandalkan dana BOSP untuk membiayai honorarium guru dan tenaga kependidikan non-ASN. Di beberapa kasus, lebih dari 50% dana BOSP habis untuk membayar honor, menyisakan sangat sedikit anggaran untuk kegiatan pembelajaran, pengadaan buku, pelatihan guru, atau pengembangan program literasi dan numerasi.

Kementerian menganggap bahwa pola penggunaan seperti ini tidak berkelanjutan dan kurang berdampak langsung terhadap mutu pembelajaran. Oleh karena itu, pembatasan ini diharapkan dapat mendorong satuan pendidikan untuk lebih efisien dan strategis dalam mengalokasikan anggaran.


⚖️ Tantangan Nyata di Lapangan

Meski memiliki niat baik, kebijakan ini tidak luput dari tantangan:

  1. Ketergantungan pada Guru Honorer
    Di banyak sekolah, guru honorer adalah penopang utama kegiatan belajar mengajar, terutama ketika jumlah guru ASN sangat terbatas. Pembatasan honor dapat menyebabkan kekurangan tenaga pengajar atau menurunnya motivasi guru non-ASN akibat honor yang tidak layak.

  2. Keterbatasan Opsi Pendanaan Alternatif
    Tidak semua daerah memiliki APBD yang kuat untuk menutupi kekurangan anggaran honor. Sekolah swasta kecil pun sering tidak memiliki sumber dana lain selain BOSP.

  3. Adaptasi Perencanaan yang Tidak Instan
    RKAS (Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah) perlu disesuaikan dengan pendekatan baru. Banyak sekolah memerlukan pendampingan agar mampu melakukan perencanaan keuangan yang tepat sasaran.


🌱 Peluang Transformasi Sekolah

Di balik tantangan tersebut, ada peluang besar untuk mendorong reformasi tata kelola sekolah. Beberapa peluang yang bisa dimaksimalkan antara lain:

  • Reorientasi Anggaran ke Pembelajaran Bermutu
    Dengan honor yang dibatasi, sekolah terdorong untuk memprioritaskan belanja pembelajaran seperti buku berkualitas, pelatihan guru, asesmen formatif, serta sarana pendukung literasi dan numerasi.

  • Kolaborasi dengan Pemda dan Masyarakat
    Sekolah dapat membangun sinergi dengan pemerintah daerah dan komunitas untuk mendukung kebutuhan tenaga pengajar melalui skema pembiayaan di luar BOSP.

  • Pemetaan Ulang SDM
    Sekolah dapat melakukan pemetaan beban kerja guru ASN, distribusi jam mengajar, serta merancang inovasi pembelajaran yang tidak selalu bergantung pada jumlah guru.

  • Transparansi dan Akuntabilitas
    RKAS online dan batasan pembiayaan mendorong pengelolaan dana yang lebih terbuka, efisien, dan terukur dampaknya terhadap siswa.


🧭 Langkah Strategis ke Depan

Agar pembatasan ini benar-benar menjadi peluang, maka beberapa langkah berikut menjadi penting:

  • Sosialisasi dan pendampingan teknis intensif kepada sekolah

  • Penguatan regulasi daerah untuk mendukung pengangkatan tenaga pendidik non-ASN

  • Pengembangan panduan penyusunan RKAS yang berorientasi mutu

  • Monitoring dan evaluasi berbasis data dampak terhadap kualitas pembelajaran


✍️ Penutup

Kebijakan pembatasan honor non-ASN dalam Dana BOSP 2025 bisa menjadi titik balik menuju pengelolaan pendidikan yang lebih bermutu dan berorientasi hasil. Tentu, implementasinya memerlukan penyesuaian dan kerja sama lintas pihak. Tantangan di lapangan nyata adanya, namun dengan pendekatan yang adaptif dan kolaboratif, sekolah-sekolah di Indonesia bisa memanfaatkan kebijakan ini sebagai peluang emas untuk menghadirkan pembelajaran yang lebih efektif, relevan, dan berdampak langsung bagi siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer