Berikut definisi dan pengertian model pembelajaran SCL (Student Centered Learning) dari
beberapa sumber buku:
- Menurut Westwood (2008), Student Center Learning (SCL) adalah metode pembelajaran yang memberdayakan peserta didik menjadi pusat perhatian selama proses pembelajaran berlangsung. Pembelajaran yang bersifat kaku dan instruksi dari pendidik diubah menjadi pembelajaran yang memberi kesempatan pada peserta didik menyesuaikan dengan dan berperilaku langsung dalam menerima pengalaman belajarnya.
- Menurut Priyatmojo (2010), Student Center Learning (SCL) adalah pendekatan pembelajaran yang menempatkan peserta didik di pusat kegiatan pembelajaran di mana peserta didik berperan aktif mengembangkan kemampuannya untuk berpikir kreatif dan inovatif.
- Menurut Pongtuluran (2000), Student Center Learning (SCL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai pusat dari proses belajar. Metode ini menekankan pada minat, kebutuhan dan kemampuan individu, menjanjikan model belajar yang menggali motivasi intrinsik untuk membangun masyarakat yang suka dan selalu belajar.
- Menurut Siswono dan Karsen (2008), Student Center Learning (SCL) adalah model pembelajaran yang fokus pada kebutuhan, kemampuan, minat dan gaya pembelajaran dari peserta didik dengan pengajar sebagai fasilitator pembelajaran, sehingga menjadikan setiap peserta didik untuk lebih aktif dan mampu untuk bertanggungjawab terhadap proses pembelajarannya sendiri.
Para ahli teori seperti John Dewey, Jean Piaget, dan Lev Vygotsky, yang bekerja sama dalam mempelajari bagaimana peserta didik belajar, merupakan pendukung utama pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Dewey adalah pendukung pendidikan progresif yang meyakini bahwa pembelajaran adalah proses sosial dan pengalaman aktif bagi peserta didik. Dia percaya bahwa lingkungan kelas yang memungkinkan peserta didik berpikir kritis dan memecahkan masalah dunia nyata adalah cara terbaik untuk mempersiapkan mereka untuk masa depan.
Pemikiran Carl Rogers tentang pembentukan individu juga berkontribusi pada pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Menurut Rogers, "pembelajaran yang benarbenar berpengaruh terhadap perilaku [dan pendidikan] adalah tentang menemukan diri sendiri". Maria Montessori juga merupakan pelopor dalam pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, di mana anak-anak prasekolah belajar melalui interaksi mandiri dengan aktivitas yang telah disiapkan sebelumnya.
Teori penentuan nasib sendiri fokus pada sejauh mana motivasi individu dan "kebebasan berperan dalam menentukan nasib sendiri". Ketika peserta didik diberi kesempatan untuk mengontrol pembelajaran mereka sendiri, pembelajaran menjadi lebih bermakna dan memberikan insentif yang lebih besar. Menempatkan peserta didik di pusat proses pembelajaran memungkinkan mereka untuk mengembangkan harga diri sendiri, yang pada gilirannya meningkatkan motivasi intrinsik.
Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik melibatkan perubahan paradigma dari pemahaman tradisional yang berpusat pada guru dalam proses pembelajaran. Dalam kelas yang berpusat pada guru, guru dianggap sebagai sumber utama pengetahuan. Namun, dalam kelas yang berpusat pada peserta didik, pembelajaran aktif sangat dianjurkan. Armstrong (2012) berpendapat bahwa "pendidikan tradisional mengabaikan atau menekan tanggung jawab peserta didik".
Perbedaan lebih lanjut antara kelas yang berpusat pada guru dan kelas yang berpusat pada peserta didik adalah peran guru sebagai fasilitator, bukan hanya instruktur. Pada dasarnya, tujuan guru dalam proses pembelajaran adalah membimbing peserta didik untuk membuat interpretasi baru dari materi pembelajaran, sehingga mereka benar-benar "mengalami" kontennya, yang sejalan dengan gagasan Rogers bahwa "pembelajaran yang signifikan terjadi melalui pengalaman".
Melalui interaksi antar teman sebaya, pemikiran kolaboratif dapat menghasilkan pengetahuan yang banyak. Dengan memposisikan guru lebih dekat dengan tingkat teman sebaya, pengetahuan dan pembelajaran dapat ditingkatkan, memberikan manfaat bagi peserta didik dan kelas secara keseluruhan. Menurut teori Lev Vygotsky tentang zona perkembangan proksimal (Zone of Proximal Development), peserta didik cenderung belajar melalui interaksi dengan sesama peserta didik. Kolaborasi penting dalam mengembangkan keterampilan berpikir mandiri. Menurut Vygotsky, belajar yang hanya berfokus pada tingkat perkembangan yang telah dicapai tidak efektif dalam mempertimbangkan perkembangan anak secara keseluruhan. Pendekatan ini tidak bertujuan untuk mencapai tahap baru dalam proses perkembangan, tetapi justru tertinggal di belakang tahap tersebut.
KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN SCL
Menurut Azizah (2011), karakteristik atau aspek-aspek model pembelajaran SCL (Student Centered Learning) adalah sebagai berikut:
- Aktif. Memungkinkan peserta didik dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan bermakna.
- Konstruktif. Memungkinkan peserta didik dapat menggabungkan ide-ide baru ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keinginan-tahuan dan keraguan yang selama ini ada dalam benaknya.
- Kolaboratif. Memungkinkan peserta didik dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling bekerja sama, berbagi ide, saran atau pengalaman, menasihati dan memberi masukan untuk sesama anggota kelompoknya.
- Antusiastik. Memungkinkan peserta didik dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
- Dialogis. Memungkinkan proses belajar secara inherent merupakan suatu proses sosial dan dialogis dimana peserta didik memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam maupun luar sekolah.
- Kontekstual. Memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real-world) melalui pendekatan problem based atau case-based learning/
- Reflektif. Memungkinkan perta didik dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri.
- Multisensory. Memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar (multisensory), baik audio, visual, maupun kinestesis.
- High order thinking skills training. Memungkinkan untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (seperti problem solving, pengambilan keputusan, dll)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar