Rabu, 14 April 2021

Fast Interval Training Dan Slow Interval Training Pada Performa Lari Jarak Menengah

 

Program latihan interval dinilai memiliki dampak positif terhadap berbagai aspek fisiologis maupun peningkatan performa atlet. Beberapa studi telah menjelaskan mengenai pengaruh latihan ini, terutama bagi kesuksesan pelari dalam berkompetisi. Sebuah studi melaporkan bahwa selama delapan minggu program latihan interval ekstensif memiliki dampak positif pada sistem fisiologis dan meningkatkan tingkat ambang batas laktat (LT) pelari, tidak  hanya memperbaiki faktor fisiologis, latihan interval juga berkorelasi terhadap peningkatan performa pelari (Saha Roy, Paul, and Bandopadhyyay 2014). Pada pelari terlatih yang menyelesaikan program latihan interval selama 4 minggu pada durasi 2 menit dengan frekuensi latihan 2 kali per minggu, memperbaiki kinerja lari 3-km (Smith, Coombes, and Geraghty 2003), lebih lanjut latihan interval yang dilakukan pada pelari aktif selama 6 minggu dengan durasi 30 detik dan 4 menit pemulihan, meningkatkan kinerja lari pada jarak 2 sampai 3-km (Macpherson et al. 2010), sementara itu pada pria yang tidak terlatih selama 4 minggu (pada durasi latihan 30 detik dengan frekuensi latihan 3x/minggu) mampu meningkatkan kinerja lari pada jarak 5 km (Denham, Simon A, Feros, and J.O’Brien 2015).

Setiap program latihan secara signifikan akan mempengaruhi faktor-faktor fisiologis pelari, indikator terpenting dalam penyusunan program latihan adalah program latihan yang efektif dan efisien dalam mengembangkan aspek fisiologis yang menjadi karateristik suatu event

Lari jarak menengah dikategorikan pada nomor lari 800 m, 1500 m dan 3000 m. runs between 800 and 3000m that require between 2 and 10 minutes to complete (Brandon 1995). Pada kategori lari 1500 m, pelari dapat menyelesaikannya dalam waktu 3 sampai 4 menit, suplai energi yang dibutuhkan akan sangat bergantung pada penggunaan sistem energi aerobik dan anaerobik (Mpholwane 2007). Sistem anaerobik adalah kunci untuk performa yang optimal khususnya bagi pelari jarak menengah (Brandon 1995; Mpholwane 2007). Sistem ini disebut sebagai sistem energi primer oleh karena faktor inilah yang menentukan terhentinya aktivitas lari, apabila kapasitas anaerobik habis terpakai, maka olahraga tidak mungkin dapat dilanjutkan lagi dan orang akan berada dalam keadaan “kehabisan tenaga” (lelah berat = exhausted), pada keadaan demikian otot tidak mampu lagi berkontraksi oleh karena rangsang saraf tidak dapat melintasi keping motorik (motor endplate) ke otot, oleh karena adanya hambatan oleh zat kelelahan (asam laktat), aktivitas baru dapat dilanjutkan apabila telah terjadi pemulihan (istirahat) atau penuruan intensitas (Giriwijoyo 2017). Salah satu cara terbaik untuk memanfaatkan dan menahan efek negatif dari metabolik tersebut ialah melalui peningkatan pada kapasitas aerobik. Kapasitas aerobik yang tinggi memungkinkan pelari menggunakan sistem anaerobik lebih lama dan pada tingkat intensitas yang lebih tinggi (Giriwijoyo 2017). Artinya dengan adanya VO2max yang tinggi akumulasi asam laktat akan lebih lama terjadi. VO2max merupakan batas penggunaan energi maksimal yang dapat diproduksi secara aerobik, apabila tingkat VO2max telah mencapai tingkat maksimal dan sulit untuk ditingkatkan, maka running economy dan lacatate threshold dapat menjadi pilihan yang tepat bagi pelari untuk membuatnya lebih cepat, dan inilah dua cara yang paling ditekankan untuk meningkatkan performanya (Mpholwane 2007).

Sebuah studi mengungkapkan bahwa lactate threshold (ambang batas laktat) adalah prediktor yang lebih baik dan konsisten dari VO2max serta berkorelasi tinggi terhadap performa lari pada event yang menuntut daya tahan yang tinggi seperti lari jarak jauh, maraton dan triatlon, namun belum ditemukan secara jelas korelasi pada lari jarak menengah (Ingham et al. 2008). Lactate Threshold (LT) didefinisikan sebagai intensitas kerja dimana terjadinya peningkatan konsentrasi laktat darah pada nilai 4 mmol L-1(Billat 1996). Intensitas kerja pada LT secara signifikan berkorelasi pada performa lari 10km(Tanaka et al. 1984), lebih lanjut kecepatan pada konsentrasi lakat darah 4 mmol L-1 (V4) dan (2.0, dan 2.5 mmol L-1) berkorelasi pada perbaikan performa lari 3000 dan 3200m (Bragada et al. 2010; Yoshida et al. 1993), sementara itu pada performa lari 800 dan 1500m kecepatan lari pada LT menampilkan korelasi yang lemah (Maffulli N. Capasso G & Lancia A 1991). Studi terbaru yang menyelidiki mengenai hubungan intensitas lari dibawah dan diatas LT terhadap performa 1500m, mengungkapkan bahwa intensitas lari diatas LT memiliki korelasi yang tinggi dibandingkan dengan dibawah LT 14. Temuan tersebut membuktikan bahwa pelari 1500m bersaing pada tingkat intensitas yang tinggi daripada event lari lainnnya, sehingga penentuan intensitas pada penyusunan program latihan harus berada diatas LT untuk membuatnya lebih cepat. Dikarenakan, masih terbatasnya penelitian yang membahas mengenai hal tersebut, maka perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk mengungkap lebih tepat mengenai kontibusi dari pengaturan intensitas atau kecepatan lari diatas LT terhadap performa pelari 1500 m maupun 800m.

Latihan interval merupakan latihan yang melibatkan bentuk pengulangan (repetisi) dari latihan yang relatif intens diselingi dengan masa pemulihan singkat(MacInnis and Gibala 2017). Sejak dikembangkan pertama kali, secara mendasar ada dua bentuk latihan interval yaitu latihan dengan kerja/lari lambat dengan jarak tempuh yang jauh (slow interval training) dan kerja/lari cepat dengan jarak tempuh yang pendek (fast interval training). Slow interval training memiliki kriteria latihan dengan durasi 2-5 menit. Sedangkan, fast interval training dengan durasi 10 sampai 30 detik(Harsono 2016). Berdasarkan dari beberapa hasil studi yang telah dipaparkan, latihan interval dinilai berkorelasi tinggi terhadap perbaikan pada aspek fisiologi maupun peningkatan performa pelari. Penerapan latihan ini tentu memiliki kontribusi besar terhadap kesuksesan pelari.  








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer