Program latihan interval dinilai memiliki dampak
positif terhadap berbagai aspek fisiologis maupun peningkatan performa atlet.
Beberapa studi telah menjelaskan mengenai pengaruh latihan ini, terutama bagi
kesuksesan pelari dalam berkompetisi. Sebuah studi melaporkan
bahwa selama delapan minggu program latihan interval ekstensif memiliki dampak
positif pada sistem fisiologis dan meningkatkan tingkat ambang batas laktat
(LT) pelari, tidak hanya memperbaiki
faktor fisiologis, latihan interval juga berkorelasi terhadap peningkatan
performa pelari (Saha Roy, Paul, and Bandopadhyyay 2014).
Pada pelari terlatih yang
menyelesaikan program latihan interval selama 4 minggu pada durasi 2 menit
dengan frekuensi latihan 2 kali per minggu, memperbaiki kinerja lari 3-km (Smith,
Coombes, and Geraghty 2003), lebih lanjut latihan
interval yang dilakukan pada pelari aktif selama 6 minggu dengan durasi 30
detik dan 4 menit pemulihan, meningkatkan kinerja lari pada jarak 2 sampai 3-km
(Macpherson et al. 2010),
sementara itu pada pria yang tidak terlatih selama 4 minggu (pada durasi
latihan 30 detik dengan frekuensi latihan 3x/minggu) mampu meningkatkan kinerja
lari pada jarak 5 km (Denham, Simon A, Feros, and J.O’Brien 2015).
Sebuah studi mengungkapkan bahwa lactate threshold
(ambang
batas laktat) adalah prediktor yang lebih baik dan konsisten dari VO2max
serta berkorelasi tinggi terhadap performa lari pada event yang menuntut daya tahan yang
tinggi seperti lari jarak jauh, maraton dan
triatlon, namun belum ditemukan secara jelas korelasi pada lari jarak menengah (Ingham et al. 2008).
Lactate Threshold (LT) didefinisikan
sebagai intensitas kerja dimana terjadinya peningkatan konsentrasi laktat darah
pada nilai 4 mmol L-1(Billat 1996).
Intensitas kerja pada LT secara signifikan berkorelasi pada performa lari 10km(Tanaka et al. 1984),
lebih lanjut kecepatan pada konsentrasi lakat darah 4 mmol L-1 (V4) dan
(2.0, dan 2.5 mmol L-1) berkorelasi pada perbaikan performa lari
3000 dan 3200m (Bragada et al. 2010; Yoshida et al. 1993),
sementara itu pada performa lari 800 dan 1500m kecepatan lari pada LT
menampilkan korelasi yang lemah (Maffulli N. Capasso G & Lancia A 1991).
Studi terbaru yang menyelidiki mengenai hubungan intensitas lari dibawah dan
diatas LT terhadap performa 1500m, mengungkapkan bahwa intensitas lari diatas
LT memiliki korelasi yang tinggi dibandingkan dengan dibawah LT 14.
Temuan tersebut membuktikan bahwa pelari 1500m bersaing pada tingkat intensitas
yang tinggi daripada event lari
lainnnya, sehingga penentuan intensitas pada penyusunan program latihan harus
berada diatas LT untuk membuatnya lebih cepat. Dikarenakan, masih terbatasnya
penelitian yang membahas mengenai hal tersebut, maka perlu dilakukannya
penelitian lebih lanjut untuk mengungkap lebih tepat mengenai kontibusi dari
pengaturan intensitas atau kecepatan lari diatas LT terhadap performa pelari
1500 m maupun 800m.
Latihan interval merupakan latihan yang melibatkan bentuk pengulangan (repetisi) dari latihan yang relatif intens diselingi dengan masa pemulihan singkat(MacInnis and Gibala 2017). Sejak dikembangkan pertama kali, secara mendasar ada dua bentuk latihan interval yaitu latihan dengan kerja/lari lambat dengan jarak tempuh yang jauh (slow interval training) dan kerja/lari cepat dengan jarak tempuh yang pendek (fast interval training). Slow interval training memiliki kriteria latihan dengan durasi 2-5 menit. Sedangkan, fast interval training dengan durasi 10 sampai 30 detik(Harsono 2016). Berdasarkan dari beberapa hasil studi yang telah dipaparkan, latihan interval dinilai berkorelasi tinggi terhadap perbaikan pada aspek fisiologi maupun peningkatan performa pelari. Penerapan latihan ini tentu memiliki kontribusi besar terhadap kesuksesan pelari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar